MAKALAH SEJARAH ISLAM NUSANTARA



MAKALAH
SEJARAH ISLAM NUSANTARA
Tugas Mata Kuliah
Sejarah Peradaban Islam
Dosen Pembimbing:
Prof. Dr. H. Ali Maschan Moesa, M.Ag








DISUSUN OLEH :
·        DEDIK MUKSINUN NAFI’
Semester III kelas B



PROGRAM PASCASARJANA PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
INSTITUT AGAMA ISLAM TRIBAKTI KEDIRI
TAHUN 2017
A.    PENDAHULUAN
1.      Latar belakang Masalah
Islam sebagai agama yang dibawa oleh seorang utusan Tuhan yaitu Nabi Muhammad SAW. sejak 15 abad yang lalu telah mengalami perjalanan panjang dan banyak terukir sejarah yang sangat menarik untuk dikaji oleh setiap muslim terlebih seorang mahasiswa diperguruan tinggi Islam. Mulai dari datangnya Islam di negara Arab Saudi sampai ke seluruh penjuru dunia termasuk negara Indonesia. Indonesia sebagai negara yang mayoritas penduduknya muslim tentu juga terukir sejarah Islam didalamnya, yang penting juga untuk dikaji.
Mengenai awal masuknya Islam di Indonesia yang dulu namanya nusantara banyak teori sejarah yang berbeda dan tentunya masing-masing teori punya bukti. Penyebaran Islam di Indonesia tentu sangat pesat karena sekarang ini Indonesia menjadi Negara yang mayoritas penduduknya Muslim.
Dari proses perkembangan Islam di Indonesia dapat dipelajari beberapa muatan sejarah yang menarik untuk menjadi pembahasan. Dikalangan mahasiswa Islam sejarah Islam tidak pernah lepas dari kajian mata kuliah termasuk kajian sejarah peradaban Islam di Indonesia.
2.      Rumusan Maslah
Dari latar belakang masalah diatas ditemukan beberapa rumusan masalah sebagai berikut :
a.       Bagaimana masuknya Islam di Indonesia?
b.      Bagaimana penyebaran Islam di Indonesia ?
c.       Apa saja peninggalan-peninggalan Islam di Indonesia?



B.     PEMBAHASAN
1.      Proses Masuknya Islam di Indonesia
Seebelum membahas tentang proses penyebaran Islam di Indonesia, perlu kita ketahui informasi mendasar tentang proses masuknya Islam di Indonesia secara utuh dan menyeluruh. Banyak sekali teori dan informasi yang berbeda mengenai pembawa Islam ke Indonesia. Anatara satu pendapat dengan pendapat yang lain memiliki argumen dan bukti yang kuat.[1]
Penyebaran Islam di Nusantara pada awalnya didorong oleh meningkatnya jaringan perdagangan di luar kepulauan Nusantara. Pedagang dan bangsawan dari kerajaan besar Nusantara biasanya adalah yang pertama mengadopsi Islam. Kerajaan yang dominan, termasuk Kesultanan Mataram (di Jawa Tengah sekarang), dan Kesultanan Ternate dan Tidore di Kepulauan Maluku di timur. Pada akhir abad ke-13, Islam telah berdiri di Sumatera Utara, abad ke-14 di timur laut Malaya, Brunei, Filipina selatan, di antara beberapa abdi kerajaan di Jawa Timur, abad ke-15 di Malaka dan wilayah lain dari Semenanjung Malaya (sekarang Malaysia). Meskipun diketahui bahwa penyebaran Islam dimulai di sisi barat Nusantara, kepingan-kepingan bukti yang ditemukan tidak menunjukkan gelombang konversi bertahap di sekitar setiap daerah Nusantara, melainkan bahwa proses konversi ini rumit dan lambat.
Meskipun menjadi salah satu perkembangan yang paling signifikan dalam sejarah Indonesia, bukti sejarah babak ini terkeping-keping dan umumnya tidak informatif sehingga pemahaman tentang kedatangan Islam ke Indonesia sangat terbatas. Ada perdebatan di antara peneliti tentang apa kesimpulan yang bisa ditarik tentang konversi masyarakat Nusantara kala itu[2]
Bukti utama, setidaknya dari tahap-tahap awal proses konversi ini, adalah batu nisan dan beberapa kesaksian peziarah, tetapi bukti ini hanya dapat menunjukkan bahwa umat Islam pribumi ada di tempat tertentu pada waktu tertentu. Bukti ini tidak bisa menjelaskan hal-hal yang lebih rumit seperti bagaimana gaya hidup dipengaruhi oleh agama baru ini, atau seberapa dalam Islam mempengaruhi masyarakat. Dari bukti ini tidak bisa diasumsikan, bahwa karena penguasa saat itu dikenal sebagai seorang Muslim, maka proses Islamisasi daerah itu telah lengkap dan mayoritas penduduknya telah memeluk Islam; namun proses konversi ini adalah suatu proses yang berkesinambungan dan terus berlangsung di Nusantara, bahkan tetap berlangsung sampai hari ini di Indonesia modern. Namun demikian, titik balik yang jelas terjadi adalah ketika Kerajaan HinduMajapahit di Jawa dihancurkan oleh Kerajaan Islam Demak. Pada 1527, pemimpin perang Muslim Fatahillah mengganti nama Sunda Kelapa yang baru ditaklukkannya sebagai "Jayakarta" (berarti "kota kemenangan") yang akhirnya seiring waktu menjadi "Jakarta". Asimilasi budaya Nusantara menjadi Islam kemudian meningkat dengan cepat setelah penaklukan ini.
Sebelum Islam mendapat tempat di antara masyarakat Nusantara, pedagang Muslim telah hadir selama beberapa abad. Sejarawan Merle Ricklefs (1991) mengidentifikasi dua proses tumpang tindih dimana Islamisasi Nusantara terjadi: antara orang Nusantara mendapat kontak dengan Islam dan dikonversi menjadi muslim, dan/atau Muslim Asia asing (India, China, Arab, dll) menetap di Nusantara dan bercampur dengan masyarakat lokal. Islam diperkirakan telah hadir di Asia Tenggara sejak awal era Islam.Dari waktu khalifah ketiga Islam, 'Utsman' (644-656) utusan dan pedagang Muslim tiba di China dan harus melewati rute laut Nusantara, melalui Nusantara dari dunia Islam.Melalui hal inilah kontak utusan Arab antara tahun 904 dan pertengahan abad ke-12 diperkirakan telah terlibat dalam negara perdagangan maritim Sriwijaya di Sumatra.
Kesaksian awal tentang kepulauan Nusantara terlacak dari Kekhalifahan Abbasiyah, menurut kesaksian awal tersebut, kepulauan Nusantara adalah terkenal di antara pelautMuslim terutama karena kelimpahan komoditas perdagangan rempah-rempah berharga seperti Pala, Cengkeh, Lengkuas dan banyak lainnya.[3]
Kehadiran Muslim asing di Nusantara bagaimanapun tidak menunjukkan tingkat konversi pribumi Nusantara ke Islam yang besar atau pembentukan negara Islam pribumi di Nusantara.3 Bukti yang paling dapat diandalkan tentang penyebaran awal Islam di Nusantara berasal dari tulisan di batu nisan dan sejumlah kesaksian peziarah. Nisan paling awal yang terbaca tertulis tahun 475 H (1082M), meskipun milik seorang Muslim asing, ada keraguan apakah nisan tersebut tidak diangkut ke Jawa pada masa setelah tahun tersebut. Bukti pertama Muslim pribumi Nusantara berasal dari Sumatera Utara, Marco Polo dalam perjalanan pulang dari China pada tahun 1292, melaporkan setidaknya satu kota Muslim,  dan bukti pertama tentang dinasti Muslim adalah nisan tertanggal tahun 696 H (1297 M), dari Sultan Malik al-Saleh, penguasa Muslim pertama Kesultanan Samudera Pasai, dengan batu nisan selanjutnya menunjukkan diteruskannya pemerintahan Islam. Kehadiran sekolah pemikiran Syafi'i, yang kemudian mendominasi Nusantara dilaporkan oleh Ibnu Battutah, seorang peziarah dari Maroko, tahun 1346.Dalam catatan perjalanannya, Ibnu Battutah menulis bahwa penguasa Samudera Pasai adalah seorang Muslim, yang melakukan kewajiban agamanya sekuat tenaga.Madh'hab yang digunakannya adalah Imam Syafi'i dengan kebiasaan yang sama ia lihat di India.[4]
2.      Penyebaran Islam di Indonesia
Islam masuk ke Nusantara, salah satunya melalui jalur perdagangan. Adapun wilayah pertama masuknya Islam ke Nusantara adalah Sumatra, terutama Sumatera Utara.
a.      Penyebaran Islam di Sumatra Utara
Penyebaran Islam di Sumatra Utara berawal dari tiga daerah, yakni Barus, Aceh, dan Mandailing. Penyebaran agama Islam di tiga daerah tersebut sering disebut dengan istilah “ Tiga Gelombang Penyebaran Islam di Sumatera Utara”.[5]
Barus merupakan kota tertua di Indonesia yang terletak di pantai barat Sumatera Utara, tepatnya di Tapanuli Tengah. Bukti Arkeologis tentang Barus sebagai perkampunga muslim pertama di Nusantara berhsil ditemukan oleh para peneliti gabungan tim dari Ecole Francaise d’ExtremeOrient (EFEO) Prancis dan tim Pusat Penelitian Arkeologi Nasional (PPAN) di Lobu Tua pada 1995-2000. Penelitian itu menyimpulkan bahwa barus adalah tempat Islam [ertama kali “mendarat” di Nusantara pada abad ke-7. Adapun bukti arkeologis yang ditemukan adalah sebuah makam tua di kompleks pemakaman mahligai, Barus. Nisan makam tersebut tertuliskan Syekh Rukunuddin yang wafat pada 627 M/46 H. penemuan batu nisan tersebut dijadikan dasar untuk memperkuat dugaan bahwa Islam telah menjangkau Nusantara sejak awal kelahirannya, yakni sejak didakwahkan oleh Rosululloh SAW dan Khulafaur Rasyidin. Dengan penemuan tersebut, maka Barus dijadikan sebagai saksi sejarah tertua persilangan agama dan budaya di Nusantara, serta menjelma sebagai banda cosmopolitan dan pusat pendidikan agama Islam di Nusantara sejak pertengahan abad ke-10 sampai abad ke-15.[6]    
Setelah Barus, gelombang kedua penyebaran Islam di Sumatera Utara berlangsung di Aceh. Menurut hasil seminar Sejarah Masuknya Islam di Indonesia di Aceh, Islam dating ke Nusantara melalui saluran langsung dari  Arab abad pertama Hijriyah, dan daerah yang mula-mula memeluk Islam adalah Aceh. Pendapat ini didukung oleh sejarawan seperti Crawfurd (1820), Keyzer (1859), Niemann (1861), De Hollander (1861), dan Veth (1878).[7]          Mengenai masuk dan menyebarnya Islam di Aceh, terdapat dua versi. Pertama, versi yang menyatakan bahwa Islam masuk ke Aceh pada abad ke-7 yang didukung oleh Hamka. Kemudian, Islam menjadi agama populis pada abad ke-9. Kedua, versi yang menyatakan bahwa Islam masuk ke Aceh pada abad ke-13. Pendapat ini dikemukakan oleh orientalis seperti Snouck Hourgronje, dengan mendasarkan argumennya pada sejarah kerajaan Samudr pasai yang berdiri pada abad ke-13. Bila dilihat dari awal masuk dan penyebarannya, kedua pendapat tersebut dapar dibenarkan. Sebab, Islam masuk ke Nusantara pada abad ke-7. Kata “masuk” di sini berbeda arti dengan “menyebar”. Islam hanya masuk, artinya bahwa Islam telah ada di Nusantara, termasuk Aceh, pada abad ke-7 kemudian menyebar luas pada abad ke-13.[8]
Gelombang ketiga penyebaran Islam di Sumatera Utara adalah di Mandailing Natal, atau yang juga disebut Madina. Penyebaran Islam di Mandailing ini terjadi melalui ekspedisi bernama Paderi. Ada dua tokoh utama yang berperan penting dalam penyebaran Islam di daerah Tapanuli Selatan ini, yakni Tuanku Rao dan Tuanku Tambusai. Misi pengislaman yang dilakukan kedua tokoh paderi tersebut pada akhirnya menjadikan Mandailing masa kini, yakni kabupaten mandailing Natal, kabupaten Tapanuli Selatan, dan Kota Padang Sidempuan, sebagai daerah dengan presentase pemeluk Islam terbesar di Sumut. Dan, serangan Paderi dibawah pimpinan kedua tokoh itu merupakan gelombang terakhir dari tiga gelombang masuknya Islam ke Sumatera Utara. Namun sayangnya, mereka gagal menyebarkan agama Islam di Tanah Batak, wilayah Kabupaten Tapanuli Utara dan Toba Samosir sekarang. Dalam Islamisasi Mandailing yang dilakukan oleh Tuanku Rao dan Tuanku Tambusai, ada tiga motif utama yang di usung, yakni politik, keagamaan, dan balas dendam pribadi.[9]  
b.      Penyebaran Islam di Sumatera Selatan
Di Sumatera Selatan, wilayah atau Kadipaten (kota) yang menjadi titik perkembangan Islam adalah Palembang. Sebelum kedatangan Islam, Palembang termasuk wilayah yang cukup maju. Hal itu dapat dilihat dari berdirinya sebuah kerajaan bercorak Hindu di daerah tersebut, yakni Kerajaan Sriwijaya. Mengenai masuknya Islam ke Sumatera Selatan, ada sebuah catatan sejarah Tiongkok yang ditulis oleh It’sing ketika ia berlayar ke India dan akan kembali ke negeri Tiongkok, tetapi kemudian tertahan di Palembang. Dalam catatan It’sing, ada dua tempat di tepi selat Malaka pada permulaan abad ke-7 M yang menjadi tempat singgah para musafir yang beragama Islam dan diterima dengan baik oleh penguasa setempat yang belum beragama Islam, yaitu Palembang dan Kedah. Dari catatan ini dapat ditark suatu benang merah bahwa sudah ada masyarakat Islam di Palembang pada permulaan abad ke-7 M. pada waktu itu, Palembang dibawah kekuasaan Kerajaan Sriwijaya. Para pedagang Islam itu disambut dan diterima dengan baik oleh Raja Sriwijaya, dan diberikan kebebasan untuk menjalankan ibadah menurut Agama Islam.[10] Islam yang dating ke Sumatera Selatan dipengaruhi oleh adanya hubungan perdagangan antara Kerajaan Sriwijaya dengan dinasti-dinasti Islam di Timur Tengah, yakni, Dinasti Umayyah dan Abbasiyah. Sehingga masuknya Islam ke Sumatera Selatan sedikit-banyak dilakukan oleh bangsa Arab, yakni para pedagang utusan Khalifah Umayyah (661-750) dan Khalifah Abbasiyah (750-1258) yang dating ke Palembang. Selain keduanya, Islam di Sumatera Selatan juga terjadi akibat perdagangan dari Sriwijaya yang berlayar ke Timur Tengah.[11]
c.       Penyebaran Islam di Sumatea Barat
Islam masuk pertama kali ke sumatera Barat berada di Minangkabau Timur. Dari Minangkabau Timur itu, Islam menyebar ke wilayah Minangkabau atau Sumatera Barat lainnya. Adapun mengenai perbedaan tahun, dapat disimpulkan bahwa Islam masuk ke Minangkabau pada abad ke-7. Dan baru tersebar pada abad ke-12. Sedangkan yang membawa Islam ke Minangkabau adalah para pedagang.[12]
d.      Penyebaran Islam di Jawa
Masuknya Islam ke Pulau Jawa menandai dimulainya era Wali Sanga. Wali Sanga menjadi pelopor sekaligus penyebar agama Islam di Pulau Jawa.  Wali Sanga bukanlah sekelompok wali penyebar agama Islam dalam waktu yang bersamaan, tetapi per angkatan. Antara satu angkatan dengan angkatan berikutnya mempunyai keterkaitan yang erat, baik dalam ikatan darah atau Karen pernikahan, maupun dalam hubungan guru-murid. Bila ada seorang anggota majlis yang wafat, maka posisinya digantikan oleh tokoh lainnya. Dengan demikian, bila dilihat dari periode dakwahnya, maka Wali Sanga tidak hanya terbatas pada Sembilan sunan, tetapi mencakup seluruh wali dari mulai angkatan pertama sampai angkatan ke delapan. Berikut adalah kedelapan angkatan wali Sanga.
Pertama, Wali Sanga angkatan pertama berlangsung antara tahun 1404 sampai 1435 M. angkatan ini merupakan pelopor Wali Sanga. Mereka adalah :
1.      Maulana Malik Ibrahim (wafat 1419)
2.      Maulana Ishaq
3.      Maulana Ahmad Jumadil Kubro
4.      Maulana Muhammad al-Maghribi
5.      Maulana Malik Isra’il (wafat 1435)
6.      Maulana Hasanuddin
7.      Syekh Subakir, juga disebut Syekh Muhammad al-Baqir.
Kedua, angkatan kedua Wali Sanga berlangsung antara tahun 1435 smpai 1463 M. mereka adalah :
1.      Sunan Ampel
2.      Sunan Kudus
3.      Sunan Gunung Jati
Ketiga, angkatan ketiga Wali Sanga berlangsung antara tahun 1463 sampai 1466 M. mereka adalah :
1.      Sunan Ampel
2.      Sunan Giri
3.      Sunan Bonang
4.      Sunan Drajat
5.      Sunan Kalijaga
Keempat, angkatan keempat Wali Sanga berlangsung antara tahun 1466 sampai 1513, mereka adalah :
1.      Sunan Ampel (wafat 1481)
2.      Sunan Guru (wafat 1505)
3.      Raden Fattah
4.      Fathullah Khan (Fatalehan)
Kelima, angkata kelima berlangsung antara tahun 1513 sampai 1533, mereka adalah :
1.      Syekh Siti Jenar
2.      Raden Faqih Sunan Ampel II
3.      Sunan Muria
Keenam, angkatan keenam berlangsung antara tahun 1533 sampai 1546, mereka adalah :
1.      Syekh Abdul Qohhar (Sunan Sedayu)
2.      Raden Zainal Abidin Sunan Demak
3.      Sultan Trenggana
4.      Sayyid Amir Hasan
5.      Raden Hasamuddin Sunan Lamongan
6.      Sunan Pakuan
Ketujuh, angkatan ketujuh berlangsung antara tahun 1546 sampai 1591, mereka adalah :
1.      Syekh Abdul Qohhar (wafat 1599)
2.      Sunan Prapen
3.      Sunan Prawoto
4.      Maulana yusuf (cucu Sunan Gunung Jati)
5.      Maulana Hasanuddin (Putra Sunan Gunung Jati)
6.      Sunan Mojoagung
7.      Sunan Cendana
8.      Sayyid Saleh (Panembahan Pekaos) anak Sayyid Amir Hasan dan cucu Sunan Muria dari pihak ibunya.
Kedelapan, angkatan kedelapan berlangsung antara tahun 1592 sampai 1650, mereka adalah :
1.      Syekh Abdul Qadir (Sunan Magelang)
2.      Baba Daud ar-Rumi al-Jawi
3.      Sultan Hadiwijaya (Joko Tingkir)
4.      Syekh Syamsuddin Abdullah al-Sumatrani
5.      Syrkh Abdul Ghafur bin Abbas al-Manduri[13]
e.       Penyebaran Islam di Sulawesi
Bukti penyebaran Islam di Sulawesi dapat diketahui berdasarkan beberapa peninggalan Islam diwilayah tersebut. Diantara bukti-bukti peninggalan Islam di Sulawesi adalah :
1.      Catatan Lontara Bilang, dalam catatan tersebut tertulis bahwa raja pertama yang memeluk agama Islam pada tahun 1603 adalah Kanjeng Matoaya, raja ke-4 dari kerajaan Tallo. Penyiar agama Islam di daerah ini berasal dari Demak, Tuban, dan Gresik. Oleh karena itu, Islam masuk melalui raja dan masyarakat Gowa-Tallo.
2.      Masjid Hila, yaitu masjid pertama Datuk Tiro –salah satu penyebar Islam di Sulawesi- dikabupaten Bulukumba yang didirikan oleh Maulana KHatib Bungsu atau Datuk Tiro. Masjid ini dibangun setelah Luru Daeng masuk Islam.
3.      Makam Karaeng Sapo Batu, makam ini berupa Batu Karang berbentuk bukit karang kecil ditengah pantai Semboang dengan tinggi 1,5 meter.
4.      Naskah Kutika, yang berada di Lembah Oalu.

f.       Penyebaran Islam di Kalimantan
Penyebaran Islam terus berlanjut ke pulau Kalimantan. Tokoh-tokoh penyebar agama Islam di pulau ini berasal dari para kader ulama yang berdakwah di Sumatera, Jawa, dan Sulawesi. Islam masuk ke Kalimantan melalui dua jalur. Pertama, jalur Malaka yang dikenal sebagai Kerajaan Islam setelah Perlak dan Pasai. Kedua, jalur Jawa. Lewat jalur ini, para penyebar dakwah berasal dari para mubaligh yang dikirim dari Jawa. Ekspedisi dakwah dari Jawa ke Kalimantan berpuncak pada masa kerajaan Demak. Suksesi penyebaran Islam tersebut juga didukung oleh berdirinya kerajaan-kerajaan Islam di Kalimantan, salah satunya adalah Kerajaan Islam Banjar. Kerajaan yang memiliki banyak ulama besar, salah satunya adalah Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari.
Adapun ada tiga wilayah sebagai  awal penyebaran Islam di Kalimantan, yakni Pontianak (1741), Matan (1743) dan Mempawah (1750). Tetapi tampaknya, Islam di tiga daerah tersebut bukanlah yang pertama kalinya. Sebab, Islam diperkirakan masuk ke Kalimantan Barat pada abad ke-15 Maasehi.[14]
g.      Penyebaran Islam di Maluku dan sekitarnya
Proses Islamisai di Maluku baru dapat dilacak pada pertengahan abad ke-15. Pada masa itu, keluarga Kerajaan Ternate secara resmi memluk agama Islam. Masuk Islamnya keluarga kerajaan Ternate ini sangat penting dalam penyebaran agama Islam di Maluku. [15]

3. Peninggalan-peninggalan Islam di Indonesia
Peninggalan-peninggalan Islam di Indonesia bisa dikelompokan menjadi beberapa bentuk, diantaranya adalah sebagai berikut :
1.      Berupa Masjid
a.       Masjid Agung Demak
Berdasarkan tradisi yang berkembang di masyarakat, Masjid Agung Demak dibangun oleh Wali Sanga hanya dalam waktu satu malam. Pembangunan ini berlangsung atas perintah Raden Patah. Babad Demak tulisan Atmodarmonto menyebutkan bahwa Masjid Agung Demak dibangun pada tahun 1399 Saka atau 1477 Masehi. Angka ini adalah hasil penafsiran dari candrasangkala berbunyi Lawang trus guna ning jalmi. Namun dalam Buku “Nukilan Sedjarah Thirebon” asli tulisan P.S. Sulendraningrat, yang sampai sekarang masih dianggap sebagai naskah tradisi asli Cirebon. Di dalamnya disebutkan bahwa Masjid Agung Demak dibangun oleh para wali pada tahun 1498 M.[16]
b.      Masjid Menara Kudus
Masjid ini diambil dari nama orang yang membangunnya, yakni Sunan Kudus. Masjid ini dibangun pada tahun 1549 M dengan menggunakan batu Baitul Maqdis dari Palestina sebagai batu pertamanya. Masjid ini terletak di Desa Kauman Kecamatan Kota Kudus, Kabupaten Kudus Jawa Tengah.
c.       Masjid Raya Baiturrahman
Masjid ini dibangun oleh Sultan ISkandar Muda Mahkota Alam pada tahun 1612 M yang berada di Aceh.
d.      Masjid Raya Medan
Masjid ini dibangun pada tanggal 21 Agustus 1906 pada masa pemerintahan Sultan Ma’mun Al Rasyid Perkasa Alam dri Kesultanan Deli.
e.       Masjid Agung Banten
Masjid ini dibangun oleh Sultan Maulana Hasan, sultan pertama kesultanan Banten. Ia adalah putra dari Sunan Gunung Jati. Masjid ini berlokasi di Desa Banten Lama, tepatnya di Desa Banten,sekitar 10km sebelah utara Kota Serang.

f.       Masjid Agung Yogyakarta
Menurut sejarahnya, Masjid ini dibangun pada tahun 1773 M. masjid ini terletak di Kelurahan Ngupasan Kecamatan Gondomanan, Kotamadia Yogyakarta.

2.      Berupa Istana
a.       Istana Maimun
Istana ini terletak di Jalan Brigadir Jendral Katamso Kelurahan Sukaraja, Kecamatan Medan Maimun. Istana ini merupakan peninggalan dari kesultanan Deli yang dibangun oleh Sultan Mahmud Al Rasyid.
b.      Istana Siak Sri Inderaputra
Istana ini berlokasi di Desa Siak Sri Inderapura, Kecamatan Siak Kabupaten Bengkalis, Provinsi Riau. Istana ini juga dikenal dengan nama lain, yaitu Istana Aseeraiyah Hasyimiah. Sultan yang memerintahkan pembangunan istana ini adalah Sultan Siak XI yang bergelar Assyaidin Syarif Hasyim Abdul Jalili Syafiudin Syah pada tahun 1889.
c.       Keraton Yogyakarta
Keratin Yogyakarata atau lengkapnya Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat merupakan Istana resmi Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat, sebuah kerajaan pecahan dari Kesultanan Mataram.
3.      Berupa Budaya
a.       Upacara Grebeg Besar di Demak
b.      Pesta Tabuik di Pariaman Sumatera Barat
c.       Dhug Der di Semarang
d.      Upacara Tumplak Wajik di Yogyakarta
e.       Upacara Garebeg di Yogyakarta
4.      Berupa Seni Sastra
a.       Babad (Babad Tanah Jawi, Babad Raja-raja Riau, Babad Demak, Babad Cirebon, Babad Giyanti)
b.      Hikayat (Hikayat Raja-raja Pasai, Hikayat si Miskin, Hikayat Amir Hamzah, Hikayat Bayan Budiman, Hikayat Prang Sabu
c.       Syair (Syair Abdul Muluk, Syair Ken Tambuhan, Syair Gurindam Duabelas, Syair Perahu, Syair Kompeni Walanda)
d.      Suluk (Suluk Sukarsa, Suluk Malang Sumirang, Suluk Wijil)
5.      Sastra dalam bentuk Kitab
a.       Kitab Manik Maya yang disusun oleh Raden Mas Ngabei Ronggo pada tahun 1740. Isinya tentang perkembangan Islam di Pulau Jawa
b.      Kitab Susana-Sunu, yang digubah pada tahun 1798 oleh Raden Tumenggung Sastranegara. Isinya tentang tata cara hidup dalam Islam dan ajaran meneladani Rasulullah.
c.       Kitab Nitisastra, yang digubah pada abad ke-15. Namun tidak diketahui penulisnya. Isinya tentang ajaran moral dan pandangan hidup berupa kebijaksanaan.
d.      Kitab Nitisruti, yang diduga ditulis oleh Pangeran Karanggayam yang tinggal di Pajang.
e.       Kitab Sastra Gending, merupakan buah pemikiran Sultan Agung, Sultan ketiga Mataram Islam yang membawa mataram pada puncak kejayaannya.[17]


KESIMPULAN
            Islam masuk di Indonesia melalui berbagai macam cara, dan beberapa tahap. Pada awal abad ke-7 M Islam sudah ada di Indonesia, akan tetapi belum berkembang. Dalam arti bukan penduduk asli Indonesia yang memeluk Islam, melainkan para pedagang Muslim dari Timur Tengah maupun dari Tiongkok. Islam baru berkembang pada abad ke-13 M. selama 600 tahun penduduk asli Indonesia belum bisa menerima Islam.
            Keberhasilan dakwah Islam di Indonesia, dikarenakan metode dakwah yang digunakan para penyiar agama dengan metode Hikmah. Yaitu dengan kebijaksanaan yang dilakukan oleh para penyiar agama Islam sehingga Islam bisa diterima ileh penduduk asli yang sebelumnya beragama Hindu Budha. Kebijaksanaan tersebut melalui adat, budaya, dan kesenian yang ditanamkan syari’at-syari’at Islam.
            Agama Islam berkembang pesat di Indonesia ini hingga sekarang Indonesia menjadi Negara dengan penduduk mayoritas Islam. Dan membawa Islam pada kegemilangan yang luar biasa. Dibuktikan dengan adanya peninggalan-peninggalan Islam yang sampai sekarang masih ramai dikunjungi oleh masyarakat.








DAFTAR PUSTAKA
Abdulkadir Widjojoatmodjo ,Raden. 1942 "Islam in the Netherlands East Indies". The Far Eastern Quarterly2 (1)
Aritonang, Pdt. 2001. Jan S., Sejarah Perjumpaan Kristen dan Islam di Indonesia. Jakarta; BPK Gunung Mulia,
Hasyimy, A. 1993. Sejarah Masuk dan Berkembangnya Islam di Indonesia. Jakarta; Al-Ma’arif,
M.C. Ricklefs, 1991. A History of Modern Indonesia since c.1300, 2nd Edition. London: MacMillan
Musa, Ali Masykur. 2014. Membumikan Islam Nusantar: Respon Islam terhadap Isu-Isu Aktual. Jakarta : Serambi,
Rizem Aizid, Ustadz.  2016. Sejarah Islam Nusantara. Yogyakarta: Diva Pers.
Syam,  Nur. 2005.  Islam Pesisir. Yogyakarta: LKiS,



[1] Ustadz Rizem Aizid, Sejarah Islam Nusantara. Diva Pers. Yogyakarta : 2016. Hal.15
[2]Ricklefs, M.C. (1991). A History of Modern Indonesia since c.1300, 2nd Edition. London: MacMillan
[4]Raden Abdulkadir Widjojoatmodjo (November 1942). "Islam in the Netherlands East Indies". The Far Eastern Quarterly2 (1) Hal : 48–57
[5] Ustadz Rizem Aizid, Sejarah Islam Nusantara.. Yogyakarta: Diva Pers . 2016; Hal. 50
[6] Ali Masykur Musa, Membumikan Islam Nusantar: Respon Islam terhadap Isu-Isu Aktual. Jakarta : Serambi, Hal. 269
[7] Nur Syam,  Islam Pesisir. Yogyakarta: LKiS, 2005; Hal. 61
[8] Ustadz Rizem Aizid, Sejarah Islam Nusantara.. Yogyakarta : Diva Pers . 2016; Hal. 55
[9] Jan S. Aritonang, Sejarah Perjumpaan Kristen dan Islam di Indonesia. Jakarta; BPK Gunung Mulia, 2001; Hal. 107
[10] A. Hasyimy. Sejarah Masuk dan Berkembangnya Islam di Indonesia. Jakarta; Al-Ma’arif, 1993; Hal;206
[11] Ustadz Rizem Aizid, Sejarah Islam Nusantara.. Yogyakarta : Diva Pers,  2016; Hal. 67
[12] Ibid. … Hal. 68
[13] Ustadz Rizem Aizid, Sejarah Islam Nusantara.. Yogyakarta : Diva Pers,  2016; Hal. 143-146
[14] Ustadz Rizem Aizid, Sejarah Islam Nusantara.. Yogyakarta : Diva Pers,  2016; Hal. 214
[15]  Ibid…. Hal. 233
[16] Ustadz Rizem Aizid, Sejarah Islam Nusantara.. Yogyakarta : Diva Pers,  2016; Hal. 273-274
[17] Ustadz Rizem Aizid, Sejarah Islam Nusantara.. Yogyakarta : Diva Pers,  2016; Hal. 353-375

Komentar